Membangun paradigma nklusi

Oleh:Sujono said

Mengawali tulisan ini, izinkan penulis merefleksikan perjalanan karier diri ini di SLB Yayasan Usaha Karya Tunanetra Indonesia (YUKARTUNI) Makassar 4 tahun silam. Tepatnya, 11 agustus 2014. Sebulan setelah penulis menjalani prosesi wisuda sebagai seorang sarjana hukum. Nah! Ini adalah hal yang mau dibilang unik, ya unik. Mau dibilang keliru bin salah besar, ya, pun diri ini sangat menerima.
Namun, itulah yang namanya pashen(hobby/kesenangan dan kepuasan batin). Sebagai pelengkap cerita ini, izinkan penulis tuk menceritakan kesalahan penulis di masalalu. Kira-kira,10 atau 13 tahun silam, penulis diberi advice oleh Bapak Muhammad subu b S.Pd, yang saat itu adalah kepala panti guna yapti. Beliau menyarankan, agar penulis melanjutkan study di jurusan keguruan, lantaran prospeknya ke depan sangat jelas. Wabil khusus ila kaum tunanetra. Namun, penulis lebih cenderung memaksakan kehendak, dan seolah-olah melawan takdir dan terkesan kurang menghargai saran oranglain. Hingga akhirnya, penulis lebih memilih untuk melanjutkan studi di jurusan non pendidikan. Dalam hal ini, adalah sastra dan ilmu social non pendidikan.
Namun, kenyataannya, penulis justeru terdampar di fakultas hukum UIT, karena tidak adanya jurusan sastra walaupun ada jurusan ilmu social politik di sana. Setelah beberapa smester, penulis ternyata doyan memberikan bimbingan dan training di sekitar kosan penulis, hingga keinginan tuk mengajar di sekolah swastapun muncul.
11Agustus 2014, adalah momentum dimana hasrat tuk kembali ke SLB sebagai habitat penulispun muncul. Dengan tujuan, yaitu membangun mine set positif konstruktif dan salah satunya adalah paradikma inklusif. Oleh Firman, seorang kolega yang sempat menjadi partner kerja penulis selama 1 smester, membawa penulis dengan izin Allah ke tempat penulis mengajar sekarang. Di sana, penulis berkenalan dengan Badriana, yang waktu itu adalah siswi kelas 12 SMULB. Dan penulis dipercaya untuk mengajar sosiologi di kelas yang bersangkutan. Namun, di luar kelas, penulis dan gadis asal kolaka yang akrab disapa Bade’ pun sering berdiskusi. Paradikma inklusipun ditanamkan, dengan maksud hati agar yang bersangkutan mempersiapkan diri tuk melenggang ke perguruan tinggi. Dan al-hamdulillah, keinginan penulispun atas izinnya pun terwujud.
2015, Tepatnya pada tahun penerimaan mahasiswa baru iapun sebagai alumni kebanggaan SLB YUKARTUNI dan satu-satunya tunanetra perempuan di lingkup tempat penulis mengajar pun mendaftar di Universitas Muslim Indonesia fakultas bahasa dan sastra jurusan Pendidikan bahasa Indonesia. Namun, penulis merasa masih kurang karena belum menggalakkan tentang bagaimana perlunya kaum tunanetra bersekolah di SMU negeri dan swasta melalui jalur integrasi. Lantaran adanya perbedaan haluan antara penulis dan pihak yayasan kala itu, yang factor penyebabnya toh paradikma yang bersangkutan pula yang kala itu masih sempit.
Namun, kegigihan seorang Qamaria berhasil membuat pihak yayasan mengundang penulis tuk menjelaskan hal ikhwal dari semua ini. Dan apa yang menjadi keinginan dari Qamaria yang akrab disapa Kokom pun mendapat dukungan penuh dari guru, kepala sekolah, bahkan pihak yayasan bersedia mengadvokasi yang bersangkutan ke SMU negeri terdekat. Namun, hal tersebut, kembali urung terlaksana oleh suatu sebab.
Tapi, sejak itu penulis tak patah arang. Walau tak ada siswa yang layak dalam takaran penulis tuk diorbitkan ke SMU umum, dikarenakan factor seperti kurangnya kecerdasan mereka secara emosional, factor ekonomi, ketidak siapan, dan factor usia. Namun, penulis tetap menanamkan paradikma inklusif kepada mereka saat jam pelajaran berlangsung. Bagi penulis, eksistensi SMU LB tidak seharusnya membuat kualitas pendidikan difable semakin menurun, bahkan tidak seharusnya menjadi penghalang bagi mereka tuk bersekolah integrasi di sekolah umum. Hanya saja, bagaimana kita mengkomunikasikan kepada pihak SLB agar memberikan haknya bagi mereka-mereka yang berkeinginan tuk berintegrasi dan diberikan,  dukungan penuh dalam bentuk layanan.
“SLB tidak akan tutup, melainkan akan punya banyak pekerjaan”, kalimat ini disampaikan oleh ibu Doktor Iis masdiana, saat memberikan materi dalam workshop guru pembimbing khusus 3 tahun silam. Artinya, SLB, cukup menanamkan fondasi bagi kaum tunanetra untuk mengetahui jati diri mereka, serta menanamkkan basig dalam hal penggunaan Braille, dan symbol-simbol Braille dalam berbagai matapelajaran yang akan menjadi bekal bagi mereka. Kita ketahui bersama, bahwa banyak tunanetra yang masuk tidak lagi di usia sekolah. Sehingga, SMULB, kita peruntukkanlah kepada mereka. Bukan berarti, kita mengkotak-kotakkan diri sendiri. Sebab, kita akan tetap menanamkan paradikma inklusi, lewat cara lain seperti, training dan workshop di luar sekolah.
Selanjutnya, penulis akan bercerita tentang perkembangan dan kondisi di tempat penulis mengajar. Dari segi pembelajaran, kami mengajar dengan menggunakan kurikulum 13 dalam bentuk tematik bagi kaum tunanetra. So, materi disesuaikan dengan kemampuan dan daya serap serta daya tangkap anak-anak.
Namun, bagi beberapa guru yang mengajar di kelas 7, 8, 9, 10, dan 11. merasa bahwa kurikulum13 dalam bentuk tematik itu terlalu rendah bobot materinya bagi merreka yang memiliki kemampuan lebih. Artinya, menurut hemat penulis mereka sudah out of the box. Begitu juga dengan penulis, saat mengajar di kelas 9 yang daya tangkap dan pemahamannya terhadap konsep menyamai dengan orang awas pada umumnya, penulis memberikan sesuatu yang lebih. Menurut hemat penulis, tematik sangat memudahkan guru. Karena, guru dalam kurikulum 13 untuk kaum tunanetra hanya akan bertindak sebagai fasilitator. Dan meramu materi, sehingga peserta didik dapat menerima pelajaran dengan suasana yang atraktif dan lebih menyenangkan bagi para siswa.
Setelah Badriana, kini paradikma inklusif penulis tanamkan kepada Maulia, Fitriadi, yang kini bersekolah di kelas9. Dan Waode Destin, yang sekarang berada di kelas 11 SMULB. Nah! Untuk Destin, sapaan akrab wanita kelahiran Muna pada April 17 tahun silam adalah siswa yang masih perlu penanaman fondasi. Ya!, secara intelektual ia sudah cukup. Namun, secara emosional untuk bergabung di sekolah umum belum siap dan masih perlu penguatan akan basic dan jati dirinya sebagai seorang tunanetra. Sehingga, iapun masih penulis genjot tuk melenggang ke universitas. Salah satu persiapan yang penulis dan teman-teman di tempat penulis mengajar, adalah melatih yang bersangkutan dengan keterampilan computer bicara, dan memberikan bacaan yang dapat dibaca langsung dengan menggunakan handphone simbian miliknya.
Di SLB YUKARTUNI, jujur harus kami akui secara sarana dan fasilitas pendukung pembelajaran kami sangatlah minim. Utamanya, dalam hal kegiatan literasi, namun kreatifitas dan semangat beberapa siswa seperti Ambo tuo yang semangat belajarnya tinggi Muhammad rusli, Fitriadi, dan Maulia. Tapi, dengan fasilitas yang diusahakan sendiri seperti membeli kartu kuota yang membuat mereka semangat dan gigih mencari pengetahuan di luar sekolah. Ditambah lagi, keberadaan penulis dan Firman sebagai inspirator dan motifator yang menjadi figure panutan siswa kami.

Dalam hal interaksi di masyarakat, siswa kami baik laki maupun perempuan selalu membaur dengan masyarakat di luar. Dikarenakan, mereka utamanya kaum tunanetra perempuan sering berbelanja di grosir terdekat, belum lagi dalam urusan lain.
Walau belum ada siswa kami yang rencana kami orbitkan ke sekolah integrasi/inklusi, namun penulis berharap saatnya nanti ada salah satu dari puluhan siswa kami yang melenggang ke SMU integrasi. Selain itu, penulis tetap akan menanamkan paradikma inklusif sebagaimana tujuan penulis kembali ke SLB sebagai kandang sendiri.
Bahkan, menurut informasi salah seorang instruktur nasional dalam workshop GPK, bahwa SLB yang terafiliasi di bawah naungan yayasan pendidikan yang unit kerjanya terdiri atas TK, SD, SMP, SMU, dan SLB memberikan kesempatan kepada siswa SLB yang seatap dengan SMU di yayasan,  tersebut untuk melakukan integrasi Setelah fondasinya dirasa cukup di SLB tingkat pertama(SMP), seperti di Yayasan rajawali. Ini artinya, akan menjadi sebuah pertanda baik ditengah kabar bahwa mutu pendidikan kaum disabilitas yang sedang tidak baik-baik saja saat ini. Walau begitu, penulis hingga hari ini tak lelah dan tak bosan menanamkan paradigma inklusi kepada mereka. Karena, lingkungan yang inklusif tak akan mereka peroleh hanya di dunia pendidikan saja, melainkan pun mereka akan peroleh ketika mereka hidup,  bermasyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna