lingkungan berperan membentuk kepribadian seseorang

Oleh:SujonoSaid

Dalam ilmu sosiologi, bagi siswa SMU yang pernah belajar sosiologi di kelas 10, salah satu media sosialisasi adalah lingkungan keluarga. Ini, bukan hanya berlaku secara umum, melainkan juga berlaku dalam dunia kita. Ya! Kita, sebagai seorang tunanetra.
Mengapa demikian?, karena kita sebagai seorang tunanetra tak ubahnya dengan mereka. Selama kita adalah manusia, hal itu juga berlaku bagi kita.
OK! Jadi, ketika kita hidup dan dibentuk oleh keluarga yang kurang memahami jatidiri kita sebagai seorang tunanetra, maka kita akan berbaur dengan masyarakat dalam kondisi kalau bukan minder, kelewat percaya diri. Keluarga akan melakukan apa saja, bahkan harus mempermalukan diri sendiri dan citra kaum tunanetra.
Sebagai contoh, seorang tunanetra yang sudah dalam kondisi low vision parah, tapi tetap dipaksa menulis awas. Karena, doktrin dari keluarga yang mengatakan bahwa yang bersangkutan bukan tunanetra, tapi orang yang hanya kurang penglihatan saja.
Contoh lain, ketika seorang tunanetra sering atau pernah bergabung dalam komunitas tunanetra dan tidak, ketika mereka bergaul dengan orang awas pun akan berperilaku berbeda dan menempatkan diri dengan cara yang berbeda. Ketika seorang tunanetra memiliki kemampuan dalam tarik suara dan sering melakukan concer dengan teman-temannya yang awas akan enjoy saja ketika ia dibawa sana sini. Secara, karena ia berpikir saya adalah artis yang perlu dikasihani. Dan akibatnya, ketika ia bergabung dalam komunitas tunanetra, ia terkadang over confidence hingga akhirnya ia akan dimusuhi kawan sendiri. Karena, saat ia di komunitas ia membawa hebitnya sebagai raja/ratu di kandang sendiri. Dan jika ia tak merubahnya, ia tak akan menjadi tunanetra berkualitas. Karena, kebiasaan buruk harus di tinggalkan untuk lebih baik.
Nah! Sedangkan tunanetra yang pernah mengalami pembentukan jati diri entah itu dalam bentuk pembinaan atau pergaulan di komunitas tunanetra, ia akan memiliki sikap yang berbeda ketika ia bergaul dengan orang awas utamanya ketika ia menjjadi seorang public figure. Ia akan memiliki pemikiran bahwa kasihan jika karena daku mereka harus terhalang dalam beraktifitas. Karena, harus menuntun daku. So, ia akan berpikir.
Apa yang mereka pikirkan? Yang mereka pikirkan adalah, bagaimana mereka melakukan segalanya secara mandiri sama dengan mereka yang memiliki fisik sempurna lahir batin. Karena, mereka yang telah terbentuk keperibadiannya dalam komunitas, telah memiliki paradigma bahwa kita semua sama, punya hak dan kewajiban yang sama. Walaupun, kita memiliki perbedaan, karena perbedaan adalah anugera ilahi.
Nah! Apa pembentukan keperibadian itu harus di lakukan di SLB? PSBN? ORSOS/ORMAS?, atau lainnya?, tentu tidak. Bagaimana dengan tunanetra yang terkena tunanetra ketika mereka telah bergelar sarjana? Tentu tidak harus bersekolah dan berijazah SLB lagikan?. Nah!, makanya ada namanya rehabilitasi mental termasuk dalam hal ini adalah paradigma/carapandang mereka. Disinilah, kita sebagai seorang tunanetra, baik seccara personal maupun kolektif mengambil peran untuk menjadikan mereka diterima di keluarga dan masyarakat, agar mereka dapat memberi kontribusi bagi bangsa dan Negara. So, rehabilitasi terhadap mereka tidak harus face to face, tapi juga dapat kita lakukan lewat media seperti elektronik, medsos, dan lainnya dalam bentuk group.
Izinkan penulis untuk sharing terkait kaum tunanetra yang masih menghabiskan sepersekian hidupnya di rumah, entah karena paradigma keluarga dan dirinya, atau karena kekurangan informasi dikarenakan daerah mereka adalah daerah terisolir. Hampir semua operator telekomunikasi, memiliki fasilitas layanan pesan suara(voice blog/Bubli), pasti teman-teman pembaca akrab dengan layanan ini. Dan kebanyakan penggunanya adalah pengguna HP komunikasi dan senter alias HP tanpa talks.
Dengan layanan ini, kita dapat merekam suara, dengan jumlah durasi tertentu dan didengarkan oleh yang lain, kita dapat berbagi cerita, melakukan aktivitas tarik suara, dan lain,  sebagainya. Bahkan, kita dapat saling bertukar nomor. Tentu, amat berbeda dengan social media yang kebanyakan orang gunakan seperti Whats app, Face book, twitter, dan lainnya. Karena, HP yang digunakan adalah HP yang berjuluk ponsel pintar.
Untuk Voice blog/Bubli, kaum tunanetra yang sudah punya HP komunikasi dan senter sudah dapat menggunakan fasilitas tersebut. Melalui fasilitas ini, kaum tunanetra dapat men share cerita-cerita mereka lewat postingan, atau saat mengobrol lewat telephon, dengan izin tuhan merekapun akhirnya termotifasi untuk merubah hidupnya untuk lebih baik. Misal, bersekolah di SLB, atau mencari jalan untuk belajar life skill. Entah dalam bentuk softskill, atau hard skill demi kelangsungan hidup mereka kelak.
Melengkapi semua ini, izinkanlah penulis untuk menyampaikan contoh kasus, tahun 2015, penulis sebagai seorang guru SLB di kota makassar berkenalan dengan layanan bubli salah satu operator seluler. Setahun kemudian, penulis memantau setiap program yang tersaji di sana. Bahkan, saat itu, menurut pantauan penulis sedang berlangsung lomba baca puisi lewat pesan suara. Dan hadiah yang diberikan bagi para pemenang pun tak tanggung-tanggung. Yaitu, pulsa dengan besaran mulai dari puluhan, hingga ratusan riburupiah. Dan, terpilih lah Warda nur Fadhilah, seorang tunanetra asal Kabupaten Bone sulawesi selatan sebagai pemenang pertama. Saat itu, penulis melacak nomor yang bersangkutan dan juga melakukan obrolan lewat pesan suara.
Singkat kata, penulis menyerahkan nomornya kepada pihak sekolah untuk mendapat informasi tentang bagaimana agar boleh bersekolah di sekolah tempat penulis mengajar. Karena, ternyata dibalik hobinya berpuisi, ia memiliki wawasan yang luas. Namun, bagi penulis apalah artinya kita mampu bertutur(mendeklamasikan puisi) jika kita tidak mampu menuliskan karya yang kita deklamasikan.
Hal itupun penulis sampaikan kepada yang bersangkutan, hingga akhirnya iapun terdorong untuk keluar rumah untuk lebih baik. Walau, ia harus siang malam mendengarkan tausiah dari keluarganya secara bergantian tanpa kenal waktu kecuali waktu tidur. Selain Nur fadhila, ada 2 orang yang bersekolah di tempat mengajar penulis. Mereka adalah Masdar giring dan abdul muis, 2 orang tunanetra asal Kabupaten Pinrang sulawesi selatan yang rela meninggalkan rumah untuk hidup lebih baik. Sebenarnya, mereka sudah memiliki keterampilan, termasuk kemampuan membajak sawah. Namun, karena mereka berpikir bahwa apalah artinya keterampilan jika kita tak punya wawasan dan pengalaman dalam bersekolah serta faham akan jati diri kita sebagai tunanetra.
Selain itu, adapula seorang tunanetra yang secara usia tak lagi cukup untuk usia sekolah. Namun, ia berkunjung ketempat penulis. Hingga akhirnya, penulispun menyarankan kepada yang bersangkutan untuk bergaul dengan rekan-rekan di komunitas tunanetra yang ada agar memiliki keterampilan lebih, serta memahami jatidirinya, sehingga al-hamdulillah, yang bersangkutan pun kini hidup bermasyarakat. Apa yang kita lakukan, dalam hal menghantarkan sesama menuju gerbang cahaya versus gulita, mungkin belumlah maksimal. Namun, kita harus tetap mengakui bahwa lingkungan komunitas amatlah membantu kita untuk berbaur di tenga-tengah,  khalayak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi