Tunanetra dalam perspektif diri dan orang lain

Oleh:Sujono said

Tulisan ini, adalah hasil permenungan penulis yang berlanjut diskusi dengan teman-teman aktifis difabel. Berdasar permenungan penulis, bahwa terkadang kita terlalu banyak menuntut keadilan pada orang lain. Wabil khusus, kita sebagai difabel umumnya, dan tunanetra khususnya. Dalam berinteraksi dengan orang lain misalkan, kita selalu merasa diabaikan ketika tidak di respon. Belum lagi, merasa di diskriditkan, hingga merasa harkat, martabat, dan harga dirinya dicabik dan diinjak-injak orang lain.
Namun, kita sebenarnya tidak sadar bahwa diri kita juga punya andil besar untuk mereka memperlakui kita. Artinya begini, kita sendiri yang memberikan mereka kesempatan untuk melakukan apa saja kepada diri kita. Duh gusti! Apa lagi ini? Artinya, begini itu terjadi ketika kita memandang diri kita dengan cara yang menyebabkan mereka melakukan hal sama. So, berlakulah apa yang disebut dengan hukum kausalitas( sebab akibat). Kongkritnya! Jreng jreng jreng, adalah ketika kita memandang diri kita lemah, takberdaya, perlu belaskasihan, dan semua yang melemahkan diri kita, maka itupun yang orang lain akan lakukan terhadap diri kita. Singkatnya, ketika kita membiarkan mereka berpikir demikian dengan tindakan, atau tidak menggunakan indera yang tuhan kasi untuk bicara, dan bertindak untuk  mengubah cara pandang mereka terhadap diri kita maka itulah cara kita memandang diri kita yang sesungguhnya Iakan? Iakan? Ialah!.
Namun, ketika kita nah! Ini sebaliknya nich ketika kita menggunakan semua sumberdaya yang tuhan kasi ke kita untuk mengubah cara pandang mereka dengan kata dan laku, maka itu pulalah cara kita dalam memandang kita terhadap jati diri kita gitu lo. Oh!, aaku baru ngeh he he he?. So, apa yang orang lakukan kekita itu dari diri sendiri.
OK!, kita bahas dulu tentang diri kita, jadi tunanetra adalah berasal dari 2 suku kata yaitu tuna dan netra. Nah!, tuna berasal dari kata tuna yaitu tidak sempurna, sedangkan netra yaitu penglihatan yang jika diartikan yaitu keterbatasan penglihatan. Makanya, dalam beberapa status kawan sosmed penulis yang sering coret tembok bilang gini “ketika itu, netraku menatapnya lekat-lekat, duh gusti aku jatuh hati.” Nah! Sering juga di kalangan masyarakat ditambahi dengan kata penyandang dengan akar kata sandang. Bagi kita, Its OK!. Karena, sesuatu yang disandang adalah apa yang melekat.
Melekat di mana? Melekat dalam diri kita. Lah! Bukannya daki juga melekat dalam diri kita? He he he?. Tapi, tidak mungkin ada istilah penyandang tiiiiit. Ya! Sudah, artinya ketika mereka menyematkan kata penyandang pada diri kita, maka mereka menunjuk anugerah ilahi yang melekat dalam diri kita. Bukankah begitu bro and sist?.
Nah! Saatnya kita nyerempet yang pasti nggak bakal buat kegaduhan, lantaran yang diserempet bukan orang atau kendaraan. Lalu! Apadong?. Ya! Kita bakal nyerempet ke cara pandang orang lain terhadap diri kita. Terkadang, ada juga sebahagian dari mereka menambahkan kata penderita di depan kata tunanetra. Maka, jadilah kita penderita tunanetra. CK, CK, CK, emang kita menderita gitu? Seberapa berat penderitaan kita di mata mereka?. Padahal, kalau dipikir-pikir bagi yang mau mikir, sebagai tunanetra juga termasuk kumpulan orang-orang yang bahagia fid-dunia, semoga sampai wal akhira ya guise! Amin. So, kata penderita adalah perspektif mereka saja yang menganggap kita menderita dalam minset mereka. Karena, itulah jangkauan pengetahuan mereka.
Namun, seiring disahkannya UN CRPD (United nation convention on the right of person with disability) melalui UU no 19 Tahun 2011, maka terminology yang berlaku adalah disabilitas netra kelar. Daari terms yang ada, berdasar dari perspektif diri sebagai tunanetra dan orang lain, tentu berdampak pada regulasi di level goverman yang kebanyakan menjadikan kita sebagai objek pembangunan semata, dan dihukumi sebagai makhluk yang lemah ini woh woh woh. Dengan kebijakan yang ada, kita dianggap tidak sehat jasmani dan rohani ketika melamar gadis eh salah melamar,  oh melamar kerja he he he?. Atau, dianggap tidak mampu berkontribusi untuk bangsa dan Negara tetapi cukup jadi objek kontribusi masyarakat. Belum lagi anggapan lain yang menjadi regulasi.
Dari semua paparan diatas, penulis berkesimpulan bahwa apa pandangan orang lain, tergantung cara kita sendiri yang memandang diri kita. Apakah kita sebagai orang lemah, tak berdaya, butuh belas kasihan. Atau sebagai orang yang setara dengan mereka, patut disokong, serta punya hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara.
Walau demikian, syukur alhamdulillah, karena paradigma yang melemahkan kita sudah mulai bergeser. Perlakuan masyarakat yang dulu sinis kepada kita telah banyak mengalami perubahan. Mengapa?, Karena para pendahulu kita telah mengubah cara pandang masyarakat yang dimulai dari cara pandang terhadap diri kita sendiri, walau itu adalah suatu hal yang sangat tidak mudah. Namun, semua membuahkan,  hasil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi