Tuhan jawab risau hatiku

Oleh:Sujono said


Penulis bukanlah manusia sempurna, penulis hanyalah seorang manusia yang tak jauh beda dengan manusia lain. Secara kodrati, penulis juga adalah tempatnya salah, khilaf, dan dosa. Jadi, penulis bukan orang suci, bukan pula orang alim, dan juga bukan orang salih. Namun demikian, penulis tentu adalah sosok yang sadar akan jatidirinya, yaitu makhluk ciptaan Allah. So, penulis tak bisa dan berusaha untuk tak akan pernah menjauh dari Allah. Lantaran penulis sadar, bahwa diri ini hidup dalam genggamannya.
Torehan ini, berawal dari hasil permenungan penulis ketika penulis mengenang masa kanak-kanak, dan remaja penulis. Penulis, terlahir dari seorang ibu yang menjunjung tinggi ajaran agama, pun juga memiliki ayah yang taat dalam menjalankan ajaran agama. Jadi, sejak kecil penulis tiap hari selalu mendapatkan pesan pesan kebaikan, bukan pesan-pesan berikut dari sponsor ya he he he?.
Lantaran penulis telah berpisah jauh dari orang tua dengan harapan agar penulis menjadi anak yang baik, tapi kala itu penulis bukan memenuhi espektasi dari ayah dan bunda. Justeru, penulis mengikuti arus. Hal itu, terasa ketika penulis ber sekolah di Yapti, saat itu penulis sedang bersekolah di jenjang SMP. Kala itu, penulis serumah dengan Mushallah, tapi shalat 5 waktu boleh dikata tidak pernah kecuali lagi pengen.
Bahkan, pada tahun 2005, ketika penulis baru mampu bermain gitar, suatu sore, pembelajaran bbaca qur-an berlangsung di Mushallah, penulis lebih memilih bermain gitar di asrama. Apakah ini bukan kekurang ajaran? Jelas! Ini kekurang ajaran.
Namun, hidayah itu datang perlahan, ketika penulis diajak untuk mengikuti training taruna melati1 (TM1) di organisasi Ikatan Remaja Muhamadiah(IRM) yang berlanjut dengan kajian dan seterusnya. Al-hamdulillah, penulis akhirnya kembali ke jatidirinya yaitu menjadi sosok yang berusaha untuk taat pada ajaran agama.
Namun, lagi-lagi semangat hijrah penulis masih belum maksimal, lantaran penulis masih larut dan terlena dalam convert zone. Namun, ketika penulis sudah meninggalkan Yapti, dan living kost, malah lebih liar lagi, karena penulis sudah mulai berkenalan dengan dunia hura-hura(hedon), yah karakter mahasiswa yakan?.
Akhirnya, penulis sampai pada sebuah titik, dimana titik itu adalah saat yang merupakan turning point( titik balik) ketika itu, mama penulis telah berpulang ke haribaan ilahi rabbi Allah subhanahu wata’ala. Dan kepergian beliau, menjadi pukulan telak bagi penulis. Hingga akhirnya, kehidupan penulis pun berubah.
Yang dulunya, penulis tidak pernah shalat, akhirnya penulis rajin shalat. Hal itu, berawal dari isi ceramah KH Zainuddin MZ yang mengatakan bahwa seorang ayah atau ibu akan masuk neraka gegara anaknya tidak patuh pada perintah Allah. Hal itulah, yang membuat penulis mulai tertib shalat. Makin kemari, penulis semakin merasa bahwa shalat bukan sekadar bagaimana agar mama penulis yang kini telah berbaring di tanah melenggang bebas di syurganya Allah, melainkan penulis sadar bahwa shalat adalah media dimana penulis meminta kepada Allah agar terlindung dari mara bahaya, agar segala urusan penulis dimudahkan dan agar penulis senantiasa dalam lindungannya.
Penulis mulai menyadari itu, ketika penulis harus mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kehidupan penulis, dan terkadang apa yang penulis harapkan tak sesuai dengan kenyataan (Das sain das sollen). Akhirnya, penulis ingat, apa yang pernah penulis baca tentang emotionall question dan spiritual question yang pertama dibawa oleh Ustdz Hari ginanjar agustin. Sejak itulah, penulis mulai sadar bahwa segala hal terkait kehidupan penulis telah diatur oleh zat yang maha mengatur. Walaupun demikian, bagian kita hanya melakukan ikhtiar(usaha) dan tawakkal(berserah).
Walau penulis termasuk pelaku pelanggar perintah agama dan norma kesusilaan, tapi penulis tak pernah sedikitpun ada niat untuk tipu-tipu orang, membohongi orang, dan meminum minuman keras seperti Es batu eh salah pokoknya taulah, dan hal-hal lain yang sering,  dilakukan oleh orang kebanyakan.
Nah! Ketika penulis telah mengajar, penulis akhirnya selalu tertib shalat, lantaran penulis serumah dengan masjid. Walau, rumah penulis juga dekat dengan masjid. Tetapi, setiap penulis meninggalkan rumah dinas penulis untuk berlibur, al-hamdulillah, penulis sudah mulai tertib shalat. Karena apa? Lantaran ngana eh salah maksudnya lantaran apa yang telah penulis sebutkan diatas telah tertanam secara sempurna dan paripurna. Akhirnya, penulis pindah mengajar ke tempat yang baru. Penulispun risau akankah ia tetap dekat dengan Allah atau tidak?. Al-hamdulillah, penulis masih tetap dekat dengan Allah ta’ala lantaran kebiasaan baik penulis masih berlanjut.
Ketika penulis telah berpindah dari SLB Yukartuni ke SLB kusumabangsa, pertama penulis selalu risau bahwa kemana penulis akan melaksanakan shalat jumat?. Tapi, Allah menurunkan jalan lewat orang-orang yang Allah telah gerakkan hatinya.
Kebiasaan yang kedua, missal tiba waktu shalat magrib. Walau masjid jauh, tapi penulis mendengar adzan. Sementara, penulis sedang nonton youtube Helmi yahya bicara maka penulis menekan tombol jedah dulu, barulah penulis melaksanakan shalat magrib.
Atau, penulis lagi minum kopi sambil baca berita, lantaran penulis mendengarkan suara adzan maka penulis meninggalkan segelas kopi hitam yang enak nan lezat serta mengamankan handphone yang penulis gunakan untuk membaca berita demi menjawab panggilan mesra dari rabbul izzati Allah ta’ala. Barulah penulis melanjutkan nonton youtube, atau minum kopi hitam sembari membaca berita baik local, maupun berita nasional. Al-hamdulillah, ternyata tuhan telah menjawab keresahan penulis sejak menentukan sikap untuk pindah tugas dari tempat yang serumah dengan tempat ibadah, ke tempat tugas yang jaraknya dengan tempat ibadah jauh dari jangkauan lantaran berada di luar kompleks tempat dimana penulis mengajar dan bermukim.
Sekali lagi, penulis bukan orang shalih, bukan juga orang bersih-bersih amat, karena penulis juga banyak daki. Artinya, penulis makin hari makin sadar bahwa apa yang penulis peroleh, adalah anugerah dari Allah ta’ala. Walau bagaimanapun penulis berupaya, jika Allah tidak berkehendak, maka penulis tidak akan mendapatkan apa yang penulis inginkan. Itulah yang membuat penulis sampai hari ini masih menjaga shalat. Nah! Terkait tipu-tipu, terlebih membohongi orang, penulis tentu tidak mau melakukannya, karena bagi penulis itu adalah hal yang bertentangan dengan nurani penulis. Walau sebenarnya, peluang untuk berbohong terbuka lebar, bagi sebahagian orang penulis adalah orang yang terlalu lugu, dan ada juga yang berpikir bahwa penulis adalah orang yang terlalu dungu, lantaran tidak tahu main cantik padahal ada peluang.
Tapi, penulis tetap berpikir bahwa apapun itu tuhan maha melihat. Kedua, penulis juga memposisikan diri penulis bahwa ketika penulis membohongi orang, menipu, dan mendzolimi orang, apa  penulis ridha ketika penulis juga memperoleh perlakuan demikian?. Tentulah, ketika penulis diperlakui demikian toh juga pastilah tidak ridha. Itulah yang dapat penulis sampaikan dalam torehan penulis yang hanya punya gagasan sebagai seorang lelaki biasa yang tak punya apa-apa selain gagasan,  berlimpah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi