Berpikir keluar kotak

Oleh:Sujono said

Dulu, ketika penulis baru mengajar di SLB, penulis memiliki paradigma yang sempit, seolah-olah penulis hanya bisa mengajar tunanetra saja atau tuna daksa saja. Ternyata, Allah selalu memberikan kemampuan berpikir keluar kotak lewat berbagai peristiwa demi peristiwa yang penulis alami.
17 agustus 2015, ketika penulis sedang beristirahat di rumah tepatnya di bilangan mangga3 blok G1 no35, tetiba tetangga yang kebetulan dititipi amanah oleh Isteri pak RT bertandang ke rumah untuk menyampaikan amanah dari isteri pak RT.
Katanya, kamu dicari bu RT diminta ke sana malam ini jika memungkinkan ujarnya kepada penulis. Akhirnya, malam itu penulis bertandang ke rumah pak RT diantar yang bersangkutan. Sesampai di rumah pak RT, yang ternyata oh ternyata adalah guru SLB YPAC, dan isterinya yang tak lain adalah guru SLB Laniang, mengajak penulis mengobrol. Dalam obrolan tersebut, bu RT ternyata memiliki maksud hati yang amat baik lagi mulia di mata penulis. Ternyata, bu RT mendapat cerita dari warga bahwa penulis tiap hari pulang balik mengajar di salah satu SLB di bilangan tamangapa Antang.
Mengetahui hal tersebut, sebagai perempuan yang memiliki kepedulian yang tinggi (High cherity), beliau menyampaikan maksud hatinya untuk meminta penulis berkunjung ke rumah beliau. Sesampai ke rumah beliau, bu RT menawarkan agar penulis pindah ke sekolah beliau, dengan pertimbangan bahwa jarak antara rumah penulis dan SLB laniang lebih dekat. “Kalau mauki pak! Saya bawaki besok ketemu kepala sekolah”.
Malam itu, jujur dari hati yang terdalam penulis sangat bahagia, lantaran penulis akan lebih dekat mengajar dan lebih hemat sebenarnya dari segi transportasi. Selain itu, sebenarnya sebagai tetangga yang baik mereka mengajak penulis untuk melakukan silaturrahim. Namun, kalaitu yang menjadi pertimbangan penulis sehingga tidak menyambut baik maksud dari bu RT juga sangat beralasan.
Lantaran dinamika pergolakan yang mengakibatkan banyaknya seangkatan penulis yang pindah ke SLB lain yang menciptakan suasana kebatinan yang mendalam. Ketika itu, pak RT langsung menggambarkan secara gamblang mengenai profil dari SLB Laniang yang menangani tunanetra.
Saat itu, beliau juga langsung berujar “begini, kalau tamat semua bagaimana bisaki ajar siswa Autis” ujar bu RT bertanya. Dengan bercanda, Pak RT berseloroh “kalau semua tamat carito!”. Beberapa bulan kemudian pasca pertemuan dengan pak RT dan bu RT, penulis mengobrol dengan kak Nasra, ternyata beliau adalah tunanetra tapi mengajar di SLB yang tidak satupun peserta didiknya tunanetra.
Akhirnya, penulispun bertanya bagaimana beliau mengajar? Sedang siswanya tak satupun tunanetra? Kebanyakan dari mereka adalah daksa, rungu, autis, grahita ringan, dan slow learner. Penulis bertanya pada kak Nasra “Kak! Kita pegang apaka?. “Seni musik” ujar Kak nasra. Penulispun berpikir, beliau Cuma mengajar seni musik jadi itu tidak mungkin kalau penulis juga mengajar di SLB lain yang tak satupun siswanya tunanetra. Akhirnya pemikiran penulispun kembali bertemu jalan buntu.
5Oktober 2015, penulis mengikuti pelatihan penjas Adaptif yang diadakan di Singga sana hotel, penulis bertemu dengan seorang tunanetra yang mengajar di salah satu SLB di bandung, ternyata dari hasil sharing penulis dengan beliau beliau juga mengajar anak autisme. Belum lagi, tatkala penulis mengikuti workshop GPK, penulis juga mendapatkan bekal dari ibu Doktor Agustin maotu Mariala S.PD, M.Pd yang sangat ahli dalam menangani anak autisme. Saat itu, pola piker penulis mulai mengalami pergolakan antara mampu dan tidaknya jika seorang tunanetra mengajar siswa yang bukan tunanetra. Kalau siswa yang daksa atau hambatan gerak, terlebih ia siswa kelas tinggi, no problemlah. Tapi, kalau siswa yang autis, terlebih siswa dengan ADHD, akan membuat tunanetra sebangsa penulis keteteran. Jadi, kesimpulannya, kembali lagi ke jalan buntu.
Akhirnya, 16 juli 2016 di Remsi hotel, penulis mengikuti seminar tentang bagaimana memberikan pelayanan untuk,  mengikuti proses belajar mengajar pada anak dengan hambatan intelektual dan autis yang diadakan oleh P4TK. Dari sanalah pemikiran penulis mulai terbuka bahwa tunanetra seperti penulis pun boleh menangani anak dengan hambatan intelektual yang berskala ringan maupun berat seperti autisme dan ADHD, asal tahu selanya. Terlebih, ketika penulis banyak belajar tentang karakteristik ABK bahwa ada yang mampu didik, dan ada pula yang mampu latih, tentu disesuaikan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu didik, maka penulis boleh mengajarkan secara sederhana materi pelajaran. Sedang mereka yang mampulatih, mereka lebih banyak diberikan beragam keterampilan, utamanya keterampilan dalam hal bina diri.
Tahun 2018, secara kebetulan ibu Hajjah Rahmayani Yunus M.Pd, memberikan pembinaan dalam kapasitas beliau sebagai pengawas tentang implementasi pembelajaran tematik yang digunakan dalam kurikulum13, penulis banyak memperoleh ilmu dari beliau tentang bagaimana kita mengajarkan kepada anak grahita ringan, atau slow learner. Misal kata beliau, kita membahas tentang kue. Kue itu boleh kita bawa kedalam bahasa Indonesia, matematika, IPA, Agama dan lain sebagainya.
Sejak saat itulah pemikiran penulis mulai terbuka bahwa kita takboleh hanya mengajar siswa yang senasib saja. Melainkan, kita harus membuka diri kepada mereka yang lain ketunaan. Karena dengan tujuan, misalkan kita ingin mengajar di SLB dekat rumah. Tapi tidak ada tunanetra. Yang ada, hanya daksa atau grahita ringan, maka kita boleh memilih yang dekat rumah. Toh ilmunya juga telah kita dapatkan.
Sejak itu, penulis sudah mulai menanamkan pikiran bahwa kita harus siap dengan segala kondisi. Jangan selalu hanya ingin berada di zona nyaman kita. Tapi, kita harus berani untuk keluar di zona nyaman, sebagaimana ilustrasi yang telah penulis utarakan.
Akhirnya, tahun 2019 penulis lewat dewan guru diamanahkan untuk mengajar Sannai, siswa yang memiliki hambatan penglihatan plus hambatan Intelektual yang dalam dunia pendidikan luarbiasa disebut dengan MDVI(multiple disability and visual impairmen). Dengan kemampuan yang Sannai punya, didukung dengan rambu-rambu pembelajaran yang ada, penulispun mengajar Sannai. Untuk maple Bahasa Indonesia, penulis mengajar yang bersangkutan membuat kalimat secara lisan seperti kalimat Tanya, berita, dan perintah dengan menggunakan metode yang disampaikan oleh bapak/ibu pengawas yang menjadi widyaswara di pelbagai training.
Walau demikian, lantaran kekurang tahuan disisen maker sehingga penulis memperoleh cibiran  yang berbunyi “kenapa itu pak jon mauna juga mengajar orang bodo-bodo seperti ampung itu kasian, na dia sarjana”. Namun, penulis tidak memperdulikan hal tersebut. Hingga akhirnya, Allah menunjukkan jawaban dari tujuan penulis untuk memiliki pikiran jauh hingga akhirnya penulis pindah mengajar di SLB lain yang taksatupun siswa tunanetra didalamnya, namun sebuah kesyukuran lantaran penulis ternyata lebih siap untuk itu. Bersyukur, Allah memberikan pemikiran yang out of the box kepada penulis, sehingga penulis lebih siap ketika diperhadapkan pada situasi apapun. Sebagaimana yang selalu penulis sampaikan kepada,  senasib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi