Ramadan dan nilai spiritual yang tertanam dalam diri dan berdampak pada kehidupanku

Oleh:Sujono said

Dulu, ketika penulis masih kecil hingga remaja, jika Ramadan tiba yang terpikir hanya makan enak, tarawih bareng dengan keluarga dan handai taulan, dan hal-hal lain yang sifatnya semu(temporary). Walaupun sebenarnya banyakhal yang telah disampaikan oleh para muballlig di mimbar-mimbar masjid, mushallah, langgar, surau, dan munasa. Termasuk misalnya keutamaan bulan ramadhan seperti bulan terkabulnya doa orang-orang yang meminta dan memasrahkan segala usahanya kepada Allah, dan lain-lain sebagainya. Tapi, yang namanya pikiran kanak-kanak itu semua enggak pentinglah ya kala itu. Mengapa? Lantaran nilai-nilai spiritual belum tertanam baik dan secara usia belum nyampe bahasa-bahasa seperti itu, lantaran terlalu berat mungkin buat difahami.
Akhirnya, sejak penulis SMP, dan tahun 2005 penulis bersama dengan teman-teman disabilitas netra termasuk golongan orang-orang yang beruntung lantaran mencicipi begitu mudahnya akses informasi lewat internet. Maka mulailah penulis mengisi waktu selain membaca qur-an juga browsing tulisan-tulisan islami di beberapa website favorit penulis termasuk Hidayatullah, Eramuslim, dan lain-lain sebagainya.
Akhirnya, sejak tahun 2006, ketika penulis sudah harus melakukan aktualisasi dengan kerikil-kerikil tajam kehidupan maka penulis semakin terdorong untuk belajar banyak tentang bagaimana menjalani hidup berdasar nilai spiritual sesuai konsepsi islam lewat praktik baik dari mereka-mereka yang kehidupannya unik bagi penulis.
Dalam tulisan yang penulis baca di rubric Oase Iman di situs eramuslim missal, ada sebuah kisah yang mengajarkan pada penulis bahwa setiap manusia itu punya sisilain yang sudah menjadi kodrat yang tidak boleh terelakkan. Misal begini, ia adalah seorang laki-laki cerdas, sholeh, dan periang. Namun, secara kodrati ia juga adalah manusia biasa yang gampang rapuh dan lebih banyak menangis tatkala berada dalam kesendirian.
Lalu apa yang ia tangisi? Yang ia tangisi adalah bagaimana ketika ia diadzab oleh Allah lantaran perbuatannya menyakiti orang missal, dan tindakan-tindakan lainnya. Orang seperti ini, tentu adalah orang yang sudah barang tentu amat berhati-hati dalam bertindak dan bertutur serta menjaga sikap atas diri dan orang lain.
Lantaran mengapa? Lantaran ia tahu bahwa ketika ia mencoreng reputasinya dengan melakukan tindakan yang salah maka itu adalah menutup rezekinya dan menurunkan adzab Allah subhanahuwataala naudzubillahi minzalik. Dan sang pemuda tersebut, menurut yang penulis baca kala itu hanya menangis diatas sajadah di sepertiga malam tatkala bani insan sedang terlelap dan bermimpimanis di atas dipan.
Praktik baik lain yang penulis peroleh, adalah ketika seorang anak penjual kue dengan kondisi kehidupan yang berada pada menengah ke bawah secara kebetulan ia berjualan diatas kereta api, di siang hari bulan ramadhan, ada seorang ibu yang ingin membeli 5 biji kue tersebut dan tidak ingin dikembalikan uangnya. Namun sang anak tetap bersikukuh untuk tidak mau menerima pemberian ibu tersebut lantaran ia merasa bahwa ia menjual kue berdasar harga dan kualitas produk, bukan menjual berlandaskan belas kasihan dari orang lain walau ia dalam kondisi kekurangan secara finansial.
Dan akhirnya, jrengjrengjreng, kesempatan belajar itupun tiba tahun 2013, ketika penulis menjelang sarjana dan ibunda tercinta dipanggil oleh Allah taala. Saat itu, penulis merasa sangat kelelahan, sangat capek, sangat jenuh dan penulis betul-betul berada di titik terendah. Namun, setelah penulis sudah berada dalam masa pemulihan bersama keluarga, penulis berhasil melewati semua itu.
Saat penulis berada di Makassar, tahun 2014, penulis menjalani wisudah jelang ramadhan. Namun, masih ada urusan kampus penulis yaitu perbaikan skripsi dan cari tandatangan sana sini, hal tersebut amat melelahkan bagi penulis secara lahir batin. Lantaran urusan tersebut harus penulis lakukan di bulan ramadhan di saat kaum muslim muslimah menikmati hari-hari di rumah sembari membaca al-quran dengan,  khusyuk.
Tetiba, penulis ingat bahwa ramadhan adalah bulan terqobulnya doa setiap hamba. Sejak saat itu, penulispun akhirnya mempraktikkan apa yang penulis baca seperti salah satunya adalah banyak berdoa di bulan ramadhan, terlebih ketika selesai melaksanakan shalat tarawih baik berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Ternyata, Allah mengabulkan doa-doa penulis, pasca idulfitri, urusan kampus penulis pun selesai secara perlahan, bahkan secara bersamaan penulis pun diterima untuk mengajar di SLB Yukartuni Makassar yang merupakan tempat pertama kali penulis meniti karier. Saat itulah, nilai-nilai spiritual terkait keistimewaan bulan suci Ramadan tertanam dan berdampak pada diri dan kehidupan penulis hingga saat sekarang,  ini,.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi