Kedepankan etika dalam berinteraksi

Oleh:Sujono said


Pintar boleh, cerdas harus, enerjik, so pasti harus. Karena, itu akan menunjang bagaimana kita menata masa depan kita yang gemilang. Namun demikian, di balik semangat seorang anak muda yang meletup-letup, ada hal yang harus diperhatikan apa itu? Etika. Ingatkah kita, dengan pelajaran kita budi pekerti tentang etika yang sering ditanamkan oleh bapak/ibu guru kita yang berbunyi “Hormati yang tua, sayangi yang muda, hargai sesama.” Hal tersebut, mencerminkan bagaimana kita bertutur, bersikap, dan bertindak serta menempatkan diri. Ini penting, baik di keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja. Lantaran ini, akan mempengaruhi bagaimana karier kita ke depannya.
Penulis bersyukur, ketika masih SMP sudah bergabung di organisasi kemasyarakatan, dan juga organisasi kepemudaan dimana selain rekan pelajar, kakak-kakak mahasiswa, serta bapak dan ibu yang sering kita sapa dengan sebutan ayahanda dan ibunda mengajarkan penulis lebih cepat respek dengan orang tua. Dan itu, terbawa ketika penulis sudah mulai mengajar tahun 2014 silam.
Tetapi, ada sebahagian anak muda, bahkan menjadi rekan kerja penulis terkadang ketika bertutur seakan tak pandang apa yang ia hadapi itu adalah orang yang lebih tua atau bukan. Karena, tentu amat berbeda, ketika kita menyampaikan sesuatu kepada rekan sebaya, kepada orang yang lebih tua, dan kepada orang yang lebih muda dari kita sekalipun. Mengapa? Karena, mereka masih terbawa dengan lingkup aktualisasi yang sempit. Misalnya, organisasi kampus yang mana para mahasiswa itu menyampaikan gagasan mereka dengan gaya yang enerjik dan berapi-api.
Ketika rapat dengan guru dan yayasan, dan diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan ia bahkan dengan suara lantang dan terkesan angkuh menyampaikan itu. Padahal, dari sekian banyak audience, hanya kita beberapa orang yang usianya muda selebihnya usianya lebih tua dari penulis. Hal itu, juga penulis temukan ketika penulis mengikuti FGD dengan rekan-rekan guru SLB se republic  rakyat dumay. Ada beberapa rekan yang enerjik, tapi kasusnya sama seperti ilustrasi yang penulis diatas sampaikan, mereka sebenarnya miskin ruang aktualisasi diri.
Oleh karena itu, perlu penulis sampaikan bahwa harusnya anak muda sedini mungkin melakukan aktualisasi diri dengan berbagai organisasi dan komunitas seperti yang penulis alami. Namun demikian, the problem is orang tua yang lebih cenderung mengizinkan anaknya ikut kursus atau les ketimbang juga aktif di organisasi paling tidak di organisasi sekitaran rumah. Agar apa? Agar anak juga mampu bermasyarakat dan memainkan peran dalam keluarga, serta menggunakan apa yang diperoleh ketika merambah dunia kerja nantinya.
Hal tersebut, akhirnya juga merambah ke pola pengajaran terhadap murid ketika ia menjadi guru, terlebih ia mengajar bukan dari begron keguruan walaupun ada juga yang alumni dari begron keguruan yang meletup-letup seperti itu lantaran cenderung menjadi organisatoris namun abai dalam bidang akademik.
Sehingga, stigma dan berujung julukan dari sang murid pun tersemat padanya misalnya bu guru galak, pak guru kejam, atau apala. Nah! Lalu bagaimana dengan penulis? Oh! Baik-baik saja bestie.
Ketika penulis masih sekolah, penulis sudah bergabung dengan organisasi kepemudaan salah satu ormas keagamaan yang pendirinya adalah kiai ahmad dahlan yang terdiri atas kami sebagai pelajar, kakanda-kakanda kami dari kalangan mahasiswa, kakak-kakak perempuan yang sudah menjadi ibu rumah tangga, serta kakak-kakak kami yang sudah bekerja, serta ayahanda dan ibunda.
Dengan begitu, maka kami belajar untuk bagaimana menempatkan diri. So, semua itu terbawa ketika penulis mengajar hingga hari ini. Contoh kecil, ketika bertemu rekan kerja yang sudah senior penulis masih sering cium tangan missal, ketika berbicara dengan atasan dan rekan kerja penulis tetap mendatarkan suara. Walaupun, kalau penulis sudah terlalu emosi naik juga. Tapi, ternyata ini juga berlaku di perusahaan. Ada juga karyawan yang meletup-letup dan atasan tidak suka.  Mengapa? Ini persoalan etika bagaimana lazimnya berperilaku. Itulah sebabnya, terkadang banyak anak muda yang punya ide brilian, tapi ditolak lantaran soal kekurangmampuan dalam menempatkan diri. Sedangkan, ada seseorang yang gagasannya sederhana namun disampaikan secara santun dan meyakinkan sehingga atasanpun mengapresiasi yang bersangkutan. So, itulah pentingnya kita mengedepankan etika lantaran etika yangmembuat kita dihargai dan ketika kita abai dengan etika maka itu juga akan membuat kita rapuh,  serapuh-rapuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi