Pindah baru wacana sudah santer di telinga

Oleh:Sujono said


Penulis mulai mewacanakan untuk pindah mengajar ke SLB di desa, atau di provinsi lain ketika penulis berkenalan dengan rekan-rekan tunanetra yang ada di berbagai kabupaten, baik yang ada di sulawesi seperti Soppeng, Luwu, Bau-bau, Muna, Bajeng, maros, dan lain-lain dan wilayah lain seperti Bima, samarinda, beberapa kabupaten di jawa timur dan lainnya. Terlebih, ketika penulis sudah tahu bahwa banyak SLB berstatus yayasan di pedesaan salah satu yang penulis kenal adalah SLB YPN Baji minasa di bilangan Bantimurung maros. Lantaran penulis pernah diundang oleh kepala sekolah yang juga merupakan pendiri yayasan di sekolah tersebut.
Secara kebetulan, waktu itu adalah musim jagung yang bertepatan dengan bulan oktober 2014 kira-kira 2bulan penulis mengajar. Namun, wacana itu menguat ketika penulis berkenalan dengan anak-anak babli yang menginformasikan pada penulis bahwa di sekolah merekapun dan di banyak SLB utamanya SLB berstatus yayasan membutuhkan sosok yang mampu mengajar tunanetra terutama mengenai huruf Braille, orientasi, mobilitas, social dan komunikasi, dan lain-lain.
Sejak itulah, penulis mulai mewacanakan untuk pindah. Bahkan, pola piker penulis yang telah berkembang dan berpikiran bahwa ketika tidak ada siswa tunanetra, penulis boleh mengajar siswa yang daksa atau grahita ringan asal jangan tunarungu, lantaran penulis tidak memiliki kemampuan komunikasi dengan tunarungu. Penulis berkenalan dengan babli sebenarnya pada tahun 2015 sekitar bulan april, lewat Mbak Fika wulandari guru menulis dari Situbondo yang sering mengisi kelas mengarang di SLB yukartuni kala itu. Dan penulis mulai berjejaring dengan babliers dari kota-kota yang penulis diatas sebutkan pada pertengahan 2016, terutama mereka yang berasal dari bau-bau, muna, dan sekitarnya. Bahkan, sempat kepikiran untuk mencoba mengajar di salah satu SLB yayasan dib au-bau, yang mana penulis memiliki kawan yang taklain adalah siswa di sekolah tersebut. Lantaran walaupun bau-bau adalah kotamadya, tapi tak seramai kotamadya yang berada di ibukota provinsi kalaitu piker penulis. Bahkan, ada yang bilang ke penulis kenapa mau ke bau-bau, kita saja mau ke Makassar.
Walau demikian, wacana masih tetap sebuah wacana yang berkutat dalam pikiran, akhirnya tahun 2017 yang bertepatan dengan libur idulfitri plus kenaikan kelas, penulis secara kebetulan berkunjung ke keluarga di Kendari. Lantaran kala itu, adik penulis ais baru merantau ke kendari dan hijrah dari kota Makassar untuk mencari kehidupan baru.
Hingga suatu hari, beberapa hari pasca lebaran idulfitri, dan penulis sedang bersantai di rumah om di Andonohu sembari menikmati fasilitas internet yang ada, tetiba pimpinan menelephone ke penulis dan terjadilah sebuah dialog sebagai berikut.
Pimpinan:Assalamualaikum pak jon penulis:waalaikum salampak pimpinan:minalaidzin wal-faidzin pak,  penulis:sama-samapak pimpinan:apa agendapak? Penulis ya sekadar jalan-jalan pak dengan keluarga pimpinan:oh bagaimana kondisi di sana pak penulis: al-hamdulillah aman pak pimpinan:bagaimana kondisi tunanetra di sanapak? Penulis:saya belum pernah jalan-jalan ke tempatnya teman-teman tunanetra lantaran saya sibuk dengan agenda keluarga inipak.
Pimpinan:oh, sayakira kita sempat jalan-jalan ketemu teman-teman tunanetra, penulis:tidak pak. Pimpinan:kalau jalan-jalan ke SLB pak penulis:tidak mungkin itu karena sekarangkan lagi libur pak. Lagi pula, samaubikin apa kasian di SLB-SLB di kendari sana kasian. Pimpinan: tidak, ka natelephone ka ini Ari bilang itu pak jon pigi urus berkas di kendari. Jadi, saya bilang kutanya dulu pak jon. Pasti kutau kalau pak jon mau pindah, lagi pula kalau pak jon mau pindah macam ke kendari kan itu kayaknya tidak mungkin, karena itu turun kelas namanya. Kecuali kalau dia mau pindah ke Jakarta itu naik kelas namanya. Penulis, kalau pindah ke Jakarta itu namanya justeru turun kelas, kecuali pindah ke kendari itu naik kelas. Lagipulapak, saya tidak ada pikiran ini untuk pindah, tidak ada. Akhirnya,  pembicaraan pun usai.
Itu, adalah kali pertama sejak wacana itu dalam pikiran dan akhirnya santer terdengar di telinga bahkan sampai ke ketua yayasan kala itu. Kali kedua, adalah ketika penulis pulang dari notaries untuk menjadi saksi akad jual beli yang dilakukan oleh papa, itu terjadi tepat pada tanggal 23 desember tahun 2020. Malam itu, penulis kembali ke yukartuni dan ditemui oleh ketua yayasan dan terjadilah dialog sebagai berikut Pimpinan:saya dengar, katanya kita mau pindah ke SLB di perkampungan? Penulis:tidak pak, saya dari notaries ini.
Pimpinan:beginipak, kita tauji to kondisi SLB di kampung-kampung pak to? Penulis:iapak tahu, walaupun ada keinginan untuk mengajar di SLB yang ada di pedesaan pasti kutimban-timbanji dulupak, apa ketua yayasannya well come ji sama saya, bagaimana, bagaimana dan seterusnya pak kupikirki semua.
Kali ketiga, adalah ketika penulis dipanggil menghadap oleh ketua yayasan untuk bertemu dan berdiskusi menyikapi persoalan-persoalan para siswa dan warga binaan kayak lapas saja. Tapi, binaan asrama maksud penulis bukan binaan lapas. Kala itu, hal itu ditanyakan bahwa katanya mau pindah pak jon, penulis  menjawab tidak pernah saya urus pindah ini. Karena, kita itu pindah harus siap segala-galanya, jangan sampai kita sampai ke sekolah yang baru kita jadi gembel, missal kita sampai ke sekolah yang baru harapannya kita produktif mengajar, tapi ternyata tidak, ujar penulis.
Tapi begini pak, lebih baik di sini saja. Karena, terus terang di sini itu masih lebih baik daripada di tempat lain. Ujar beliau menerangkan, begini pak itu semua bisa terjadi, persoalannya terwujud atau tidak. Lagipula pak, saya ini tidak mungkin pindah kalau tidak adaji hal yang memaksa penulis menimpali.
Akhirnya, 26 desember 2020, penulis berbicara phia telephone dengan Sadria dan Jusman, walau sebenarnya penulis lebih banyak berbicara dengan jusman terkait keinginan penulis untuk pindah ke SLB Herlang, tapi yang jadi masalah kala itu adalah penulis tidak menemukan sosok yang memiliki kontak dari pak Baso Bella sebagai pendiri yayasan. Akhirnya, penulis break dulu sembari mencari-cari kontak beliau. Uniknya, sekembalinya penulis ke Makassar, ternyata public lagi dan lagi dihebohkan oleh kabar kepindahan penulis yang sampai di Palopo kala itu. Sampai-sampai siswa penulis menelephon begini pak guru, sadengar pakguru mau pindah ke Bulukkumba kalau bukan ke Selayar. Tidak ada itunak, ujar penulis menanggapi. Dalam hati, penulis berujar bagaimana caranya mau pindah? Nomor kontak yayasan yang dituju saja baru mau dicari, ketika ketemu pun itu masih banyak proses yang harus dilalui.
Itulah sekelumit cerita tentang kepindahan penulis yang sampai tiga kali santer ketika masih menjadi wacana bahkan hal itu santer hingga ke telinga pimpinan. Setelah penulis betul-betul pindah dan mengenang hal ini, penulis hanya selalu mau berkata subhanallah sembari tertawa geli jika mengenang peristiwa ini. Dan kini, penulis sangat bersyukur, pindah di sekolah baru dan belajar hal-hal yang betul-betul,  baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi