Likaliku kehidupanku di masjid

Oleh:Sujono said


Dulu, waktu penulis masih kecil, penulis termasuk anak yang tertib shalat, walau penulis juga boleh dikata adalah anak yang bandel pada masanya. Yang membuat penulis menjadi anak yang tertib shalat adalah lantaran penulis bercita-cita punya masjid. Walaupun, salah satu kamar di rumah penulis penulis sulap jadi masjid-masjidan katanya. Ada mimbar buat khutbah, walau itu diambil dari bangku-bangku kayu punyanya mama di dapur, dan ada meja-meja katanya untuk menyimpan onderdil sound system yang dulu dikenal dengan pengeras suara atau microphone.
Di satu sisi, mama dan papa seneng lah ya punya anak yang shaleh, walau kadang juga agak naldi (nakal dikit) namanya aja anak kecil. Walau demikian, disatu sisi mama utamanya kadang agak gondok juga ngeliat kelakuan anaknya lantaran mengurangi kerapihan dan keindahan rumah oleh perabotan-perabotan yang tidak tepat guna sebagai orang yang amat rapih dan perfec, tapi beliau maklumlah sama anak yang punya entah itu mimpi atau khayalan tingkat tinggi ala-ala sicebol yang ada dalam dongeng itu.
Tatkala penulis mengingat kejadian tersebut, lantas dikaitkan dengan kerja-kerja NLP atau program bahasa syaraf dan ilmu dari motifator bahwa kita harus punya mimpi, penulis sadar akhirnya bahwa apa yang telah penulis lakukan itu adalah sebuah mimpi. Dan, apakah mimpi itu terwujudd? Akan kita ulas setuntas-tuntasnya.
Keterwujudan mimpi itu, bermula pada tahun 1995, ketika itu penulis telah berumur8 tahun masih unyu-unyu ya. Ketika itu, penulis sudah sering ikut ke masjid walaupun masjidnya jauh dari rumah. Kecuali, ketika penulis lagi ada di rumah dato’ ti’no’ atau di rumah nenek di kampung sebelah. Lantaran di rumah dato’ ti’no’, jarak antara rumah dan masjid hanya sepelemparan batu. Sehingga, penulis juga aktif sebagai jamaah cilik alias jacil di masjid tersebut. Akhirnya, pada tahun 1996, penulis sudah selalu disuruh azan, lantaran penulis sering ketangkap basah azan di rumah yang katanya ada masjid-masjidan itu dan inilo nak masjid yang sesungguhnya. Tapi, jujur penulis agak takut sama microphone. Sehingga, penulis selalu berlindung pada sebuah aturan yang berbunyi kata mamaku belum boleh azan di masjid kalau belum sunat.
Namun, para pengurus masjid yang sering mendengar penulis adzan dengan merdunya kata mereka ternyata tidak mati akal. Mereka, selalu mempersuasi mama ketika bertemu mama, entah di pasar, atau di sekolah, bahkan di jalan.
Namun, mereka para pengurus masjid ini akhirnya memberi ruang kepada penulis walau belum di sunat kala itu. Akhirnya, penulis pun lebih sering adzan di masjid utamanya shalat magrib. Lantaran rekan-rekan sebaya penulis semua telah memperoleh giliran untuk adzan di masjid.
Sekitar tahun 2000han, penulis sudah ditugasi oleh sekolah untuk memberikan ceramah tarwi di masjid kampung halaman entah halaman berapa dari bab keberapa. Hal itu, ternyata selaras dengan harapan mama yang memang sering mendengar penulis baca khutbah sendiri, shalat jumat sendiri, dan ceramah sendiri di masjid-masjidan sebelum aktif di masjid benaran. Dan penulis, selalu mendapat jadwal ceramah sekali setahun.
Akhirnya, tahun 2003 penulis sudah mulai aktif di mushallah Yapti. Sejak itu, penulis semakin matang dalam membawakan ceramah, walau materinya masih lebih banyak menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya, maklumlah ya aktualisasi diri dan masih mencari jati diri kala itu.
Sejak itu, penulis bukan lagi sekadar adzan, tapi sudah mulai sesekali menjadi imam shalat dan banyak mengurusi masjid. Seperti, mengatur-atur kalau ada kegiatan layaknya pengurus masjid di tempat lain. Hingga akhirnya, penulis dipercaya di masjid sekolah juga menjadi pengurus masjid utamanya bidang ketakwaan. Mulailah penulis aktif sebagai panitia dan pengisi acara di masjid sekolah ketika penulis kala itu telah bersekolah di sekolah umum. Tepatnya, di mushallah khusnul hatimah SMUN4 Makassar sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2007. Kemudian, pada tahun 2012, penulis sempat aktif sebagai,  Pembina remaja masjid di masjid al-muslimun yang berdekatan dengan rumah kostan penulis di bilangan Pelita4 Makassar. Keaktifan tersebut, hanya berselang beberapa bulan saja, lantaran penulis mulai sibuk dengan urusan KKN dan urusan skripsi. Tahun 2014, tepatnya di dekat rumah penulis di bilangan mangga3 penulis mulai aktif sebagai jamaah di masjid salsabil hingga tahun 2016 pertengahan. Setelah itu, lantaran penulis sudah mulai stay di lingkungan sekolah yang juga punya masjid yang namanya ummi maqtum, maka penulis mulai aktif di masjid tersebut. Dan di masjid inilah, penulis banyak kisah sebagai pengelola, imam, khatib, dan lainnya.
Teringat ketika pihak yayasan meminta pendapat bukan pendapatan ya guise, tentang perlu tidaknya sesegera mungkin masjid digunakan shalat jumat. Penulis, berdasar pengetahuan yang diperoleh salah satunya dari KH Muhammad na’im al-marhum yang merupakan ketua Yayasan Pendidikan tunanetra Indonesia sekarang pembinaan tunanetra Indonesia (YAPTI). Beliau, mengatakan hal tersebut tentu berdasar dalil dan reverensi yang beliau peroleh bahwa sebuah masjid atau sebuah kegiatan shalat jumat sudah boleh dilaksanakan ketika sudah ada yang imam, sudah ada yang adzan, khatib, dan yang mendengarkan. Walaupun, ketika kita SD ada dalam pelajaran agama bahwa shalat jumat jamaahnya harus berjumlah 40 atau lebih.
Sampai penulis bilang kala itu “kalau nunggu jumlah segitu, kapan shalat jumatnya? So, jalan tengahnya adalah kita ambil apa yang menjadi fatwa pak na’im saja”. Akhirnya, pihak yayasan meminta fatwa pada Ustadz Haji Sudirman S.Ag, beliau mengatakan bahwa selagi sudah ada yang khatib, ada yang imam, adzan dan ada yang mendengarkan khutbah, maka sudah boleh diadakan shalat jumat.
Akhirnya, tepat sepekan masjid tersebut digunakan untuk shalat5 kali sehari semalam, shalat jumat pun dimulai dan yang menjadi khatib pertamanya adalah penulis. Selebihnya, penulis lebih banyak menjadi MC jumat, dan setahun masjid digunakan sebagai guru penulis menggunakan wewenang untuk memberdayakan siswa yang dianggap kompoten untuk jadi MC jumat, MC tarwi dan lain sebagainya.
Akhirnya, sejak itu penulis lebih banyak bekerja di belakang layer. Penulis bertugas menyerahkan amplop berisi honorarium bagi khatib yang mengisi khutbah jumat di masjid tersebut. Sejak itu, penulis banyak berkenalan dengan penceramah-penceramah. Selain menjadi tukang jabat tangan sama pak khatib, penulis bekerja memastikan bahwa mereka yang akan menjadi MC betul-betul ready, sehingga shalat jumat tetap dapat dilaksanakan. Selain itu, penulis juga banyak melatih para public speaker untuk menjadi MC tarawih pada bulan puasa. Dan al-hamdulillah, bagi penulis merasa punya kepuasan tersendiri, lantaran siswa siswi penulis menjadi siswa yang berdaya guna. Lantaran kala itu, penulis punya motto dari masjid untuk masyarakat. Artinya, kemampuan aktualisasi diri di masyarakat bermula dari masjid sehingga lebih siap untuk berguna di masyarakat. Khususnya, di masyarakat tempat mereka tinggal sebelum bersekolah bahkan ketika mereka menjadi alumni dan kembali ke rumah dan kembali ke masyarakat.
Akhirnya, sejak penulis aktif membantu pelaksanaan kegiatan di masjid ummi maktum, penulis merasa inilah mimpi penulis tentang masjid-masjidan yang terwujud sejak di Yapti, Mushallah Khusnul hatimah, Masjid al-muslimun, Masjid salsabil, hingga masjid ummi maktum. Ketika penulis berpindah ke SLB Kusuma bangsa, penulis akhirnya sempat aktif menjadi imam di salah satu masjid yang berada di bawah naungan Ponpes Al-mahmud selama bulan ramadan.
Masjid al-mahmud, mulai diresmikan dan digunakan sejak Ahad 26 februari 2023, dan penulis aktif di masjid tersebut. Bahkan, jamaah sekitar yang katanya rata-rata baru belajar amat terbantu dengan keaktifan penulis sebagai imam.
Hanya saja, kalau boleh jujur, mau jujuru te’ne atau jujuru bayao oh itu cucur cucuru te’ne itu cucur yang dibuat dari ketan. Sedang cucuru bayao adalah cucur yang dibuat dari telur dan berbentuk telur pula.  Lakok bahasnya kue sih, kaitannya dengan kehidupan masjid dimana coba, jadi kalau boleh jujur.
Penulis sebagai imam sangat tersiksa, dimana penulis sebagai manusia biasa juga sering galau, dan juga sering stress. Belum lagi, kadang penulis lelah secara lahir dan batin lantaran harus menempatkan diri sebagai imam. Tapi, lantaran yang telah tertanam dalam diri penulis adalah bagaimana penulis mendekatkan diri mumpung masih muda, so kita harus lebih mendekatkan diri kepada tuhan. Dengan cara apa? Dengan cara melayani ummat missal menjadi imam shalat, menjadi penceramah, menjadi pengurus masjid yang bekerja di belakang layer, dan lain sebagainya. Selama ramadhan 2023, penulis lebih banyak shalat jamaah dengan jamaah masjid al-mahmud, namun sejak selesai idulfitri, hingga tulisan ini ditulis penulis tak lagi punya waktu untuk menunaikan shalat jamaah di masjid tersebut, bahkan lebih banyak melaksanakan shalat 5kali sehari semalam di rujab tempat penulis tinggal hingga tulisan ini disusun. Lantaran sudah mulai banyak hal yang membutuhkan konsentrasi tinggi penulis. Sekali lagi, penulis tidak mau terganggu dengan pemikiran-pemikiran yang membutuhkan penyelesaian lantaran harus melayani ummat. Penulis lebih memili stay di rumah ketimbang ke masjid ketika penulis membutuhkan konsentrasi tinggi terhadap sesuatu yang perlu dipikirkan. Tapi, apa yang penulis lakukan bukan untuk mencari hidup di masjid, melainkan keaktifan penulis di masjid hanya untuk mewaqafkan diri kepada Allah dan juga kepada ummat. Dan semoga, apa yang penulis lakukan penulis niatkan semoga pahalanya sampai kepada mama penulis yang telah,  tiada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalankaki di pagi hari

Menjemput jodoh di tanah muna

Membangun paradigma nklusi